Sepuluh menit telah berlalu, ini
adalah waktuku untuk menaiki pesawat. Sebagai salam perpisahan, Aku melambaikan
tangan dan memberikan senyuman manis kepada Mr. Andrean. Ia membalas lambaian
tangan dan senyumanku. Kulihat, wajahnya yang masih tampak muda diusianya yang
sudah berkepala tiga, terlihat ia memancarkan sinar kasih sayang yang tulus
kepadaku. Aku bertambah, tak tega meninggalkannya. Meninggalkan orang-orang
yang kucintai dan kota tempatku lahir.
Sekarang, Aku telah berada di dalam
pesawat. Disampingku duduk seorang wanita anggun yang memakai jaket kulit
berwarna coklat muda dengan bulu-bulu halus dibagian lingkar lehernya.
“Hmmm... Hai! Boleh kutahu namamu?”
sapanya ramah. Aku menatapnya sejenak lalu menjawab sapaannya.
“Tentu... namaku Aeldra Smith...”
jawabku tanpa menanyakan nama pemilik wajah anggun nan cantik yang ada
dihadapanku.
“Nama yang bagus. Namaku, Laura
Garcia. Bagaimana... kalau kita berbincang-bincang sejenak?” tawar wanita
tersebut yang bernama Laura.
“Ya, tentu...” jawabku singkat. Aku
dan dia pun menceritakan berbagai pengalaman yang terjadi. Sampai pesawat
tinggal landas pun, kami berdua masih terlarut di dalam perbincangan kami
berdua.
“Ohh... jadi, itu alasanmu pindah ke
Jepang. Hmmm... kudoakan agar Kakakmu cepat sembuh, ya?” ujar Laura halus
setelah Aku menceritakan alasanku pergi ke Jepang.
“Terima kasih, Laura.” jawabku
singkat.
“Dulu... Aku juga mempunyai
pengalaman sama sepertimu, pergi jauh dari orang-orang yang kusayang. Namun,
alasanku berbeda denganmu. Alasanku, adalah karena kedua orang tuaku tidak
menerima keberadaanku. Mereka sangat membenciku. Itu semua, karena mereka yang
menganggap, Aku yang membunuh Adikku,” cerita Laura. Pengalamannya jauh lebih
menyakitkan dari yang kualami.
“Mem...membunuh... a...adikmu?”
tanyaku gagap karena terkejut.
“Hmmm... maksudku, kedua orang
tuaku menganggapku adalah penyebab kecelakaan yang dialami oleh Adikku. Saat
itu, Aku berumur dua belas tahun dan Adikku, Amelda, berumur sembilan tahun.
Saat itu, Aku sedang kesal terhadapnya karena telah merusak rancangan bajuku
yang akan dipajang di pameran esok hari. Aku pun membentak dan memarahinya
sampai ia menangis dan keluar dari rumah. Tak lama setelah Adikku berlari
keluar rumah, Aku mendengar keributan dari luar. Saat Aku melihat apa yang
terjadi ternyata, Amelda telah tergeletak tak berdaya dengan darah bercucuran
dari pelipis dan mulutnya. Aku merasa bersalah saat itu. Aku menyesal, Aku
menyesal telah membentak dan memarahinya. Aku sangaaat menyesal saat itu.
Hiks...hiks...” jelas Laura sambil terisak.
“Baiklah, cukup cerita darimu.”
ujarku sambil berusaha menenangkan Laura. Aku memberikannya air putih yang
telah tersedia, ia meneguknya perlahan. Kulihat, ia sudah lebih tenang dari
sebelumnya.
“Te...terima... terima kasih,
Aeldra.” ujarnya. Aku mengangguk.
Perjalananku menuju Jepang diwarnai
dengan kisah-kisahku dengan Laura yang kami ungkap bersama.
0 komentar:
Posting Komentar